Jangan lalai memantau pertumbuhan balita Anda. Kalau Anda perhatikan
balita Anda ternyata lebih pendek dibandingkan teman-teman sebayanya,
Anda patut waspada. Bisa jadi, anak Balita Anda termasuk stunting.
Stunting
adalah kondisi di mana tinggi badan balita itu lebih pendek dari yang
seharusnya bisa dicapai pada umur tertentu. Jumlah balita pendek di
Tanah Air ternyata masih cukup tinggi. Kalau mengacu pada hasil Riset
Kesehatan Dasar tahun 2010, ada 35,6% balita yang mengalami stunting,
baik balita pendek maupun sangat pendek.
Kondisi stunting pada
balita seringkali tidak disadari. Baru setelah mencapai usia dua tahun,
orangtuanya menyadari bahwa balitanya pendek. Kondisi stunting ini tidak
bisa hanya dilihat dari penampilan fisik balita. Stunting dapat
diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat badannya dan diukur
panjang atau tinggi badannya. Hasilnya dibandingkan dengan standar
ukuran pertumbuhan tubuh manusia, atau antropometri. Dalam standar ini
tercantum kisaran ukuran panjang atau tinggi badan yang seharusnya
dicapai pada rentang usia balita (0-60 bulan atau 0-5 tahun), sehingga
dapat diketahui balita termasuk pendek, normal atau tinggi.
Sebagai
contoh, pada umur 12 bulan, balita dikatakan memiliki panjang badan
normal apabila berada dalam kisaran 71 cm sampai dengan 80.5 cm. Apabila
di bawah 71 cm termasuk pendek, sedang di atas 80.5 cm termasuk tinggi.
Balita pendek adalah masalah gizi kronis, yang disebabkan kurangnya
asupan gizi dalam waktu yang cukup lama. Bahkan, sejak anak masih dalam
kandungan. Hal ini sering terjadi lantaran ketidaktahuan orang tua atau
belum adanya kesadaran untuk memberikan makanan sesuai dengan kebutuhan
gizi anaknya.
Selain asupan gizi yang kurang, seringnya anak
sakit juga menjadi penyebab terjadinya gangguan pertumbuhan. Apabila
gangguan ini bersifat kronis, dampaknya juga menyebabkan anak menjadi
pendek. Risikonya makin besar ketika perilaku hidup bersih dan sehat
tidak diterapkan. Kalau sanitasi lingkungan yang menjadi tumbuh kembang
anak diabaikan, anak pun rawan terhadap penyakit infeksi. Namun,
stunting tidak melulu dipengaruhi asupan gizi dan sering tidaknya balita
sakit. Riwayat gizi sang ibu, baik sebelum hamil maupun di masa
kehamilan, juga sangat berkaitan dengan potensi balita stunting.
Berpengaruh pada kecerdasan

Menurut Kepala
Subdirektorat Gizi Makro Kementerian Kesehatan Ir. Muhammad Nasir MKM,
90% pertumbuhan otak manusia terjadi sejak janin sampai sebelum anak
berusia lima tahun. Bahkan, 70% pertumbuhan otak itu terjadi di bawah
usia dua tahun. Proses pertumbuhan seperti ini tidak dijumpai di
periode-periode usia lainnya. Karenanya seringkali periode ini dijuluki
masa emas atau periode kritis.
“Periodenya dimulai dari pembuahan
(konsepsi) sampai 280 hari masa kehamilan, ditambah 720 hari atau
sampai dua tahun,” jelasnya. Artinya, bila terjadi gangguan pertumbuhan
pada masa-masa tersebut sehingga pertumbuhan otak tidak terjadi
sebagaimana mestinya, maka pertumbuhan tidak bisa dikejar pada periode
berikutnya, sekalipun kebutuhan gizinya dipenuhi dengan baik. Dan, anak
tetap akan mengalami gangguan pertumbuhan otak.
Waktu yang tepat atasi stunting
Stunting
memang berdampak serius, tapi bukan berarti tidak dapat dicegah.
Pencegahan stunting sejatinya dapat dilakukan sedini mungkin dengan
memperbaiki asupan gizi mulai dari remaja putri, wanita usia subur, ibu
hamil maupun pada balita. Artinya, sebelum hamil, kondisi si calon ibu
harus sudah “siap” hamil. Tentunya dengan asupan gizi yang cukup, berat
badan memadai dan tidak anemia.
Kejadian Balita pendek juga dapat
dicegah sejak janin dalam kandungan. Caranya dengan memenuhi asupan
gizi bagi ibu hamil, mulai dari pembuahan sampai dengan umur kehamilan
20 minggu. Di masa-masa tersebut, ibu hamil harus mendapatkan asupan
gizi mikro (mikronutrien) dan protein untuk membangun tinggi badan
potensial dan pertumbuhan otak anak. Asupan gizi mikro itu antara lain
berupa mineral seperti zat besi (tablet Fe) maupun vitamin-vitamin.
Jangan
lupa, sang ibu juga perlu diperhatikan asupan kalorinya. Ibu hamil
perlu 300-400 kalori ekstra setiap harinya, yang bisa diperoleh
makanan-makanan sumber karbohidrat, lemak nabati dan hewani, protein,
sayuran dan buah. Asupan ini penting untuk membangun berat badan
potensial bayi dan Balita.
Nah, setelah lahir, bayi baru lahir
cukup hanya mendapat ASI saja (ASI eksklusif) sampai dengan umur 6
bulan. Umur 6 bulan sampai 2 tahun, barulah makanan pendamping ASI
(MP-ASI) bisa diberikan. Pemberian ASI tetap terus diberikan sampai usia
2 tahun.
“Masa paling tepat untuk memperbaiki kondisi Balita
pendek memang sampai Balita berusia 2 tahun. Setelah usia itu bisa saja
intervensi dilakukan, tapi hasilnya tidak bisa mengejar capaian
pertumbuhan tinggi yang optimal,” tutur Nasir menjelaskan. Lebih lanjut
Nasir menuturkan bahwa masalah stunting ini erat hubungannya dengan
faktor pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap gizi.
Menurutnya, masyarakat sudah cukup tahu apa dan bagaimana dampak dari
gizi buruk.
Tapi, kalau bicara tentang gizi berimbang dan manfaat
makanan seperti lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah, dan juga ASI
eksklusif, pengetahuan masyarakat masih rendah. Untuk itu, Kementerian
Kesehatan tahun ini mulai menggelar Gerakan Nasional Sadar Gizi.
Tujuannya untuk menumbuhkan pengetahuan, sikap dan perilaku yang lebih
merefleksikan kesadaran gizi yang baik. Menurut Nasir, sekedar tahu gizi
saja tidak cukup. Tapi juga harus diikuti dengan perubahan perilaku,
antara lain pola konsumsi makanan yang baik.
Sumber : Vemale.com
0 comments